BOYOLALI, suaramerdeka-solo.com - Tradisi sadranan masih dilestarikan warga di sebagian kawasan lereng Merapi-Merbabu, Kabupaten Boyolali.
Demi mengiringi sadranan di bulan Ruwah penanggalan Jawa, ada tiga jenis makanan yang senantiasa tersedia di daerah itu. Yaitu, sagon, tape ketan dan jadah.
Sagon memiliki tekstur yang gurih dan manis. Bentuknya, seperti gulungan camilan dengan panjang sekitar 10 sentimeter.
Baca Juga: Ratusan Tenong Pada Arak-arakan Tradisi Sadranan Jelang Ramadan di Lereng Merapi-Merbabu
Rasanya? Perpaduan gurih kelapa dengan manisnya gula. Renyah diluar namun, kenyal didalam. Suguhan sagon menjadi simbol keseriusan dan ketulusan.
Menurut Sri Lestari (66), warga Dukuh/Desa Cepogo, Kecamatan Cepogo, ketiga makanan itu memiliki symbol tersendiri. Jadah, camilan dari beras ketan dan kepala parut yang dimasak bersama lalu ditumbuk hingga memadat dan kenyal.
Tape ketan juga mudah dibuat dan bisa menjadi penghangat badan. Apalagi, kawasan lereng Merapi-Merbabu berhawa dingin.
Baca Juga: Bulan Ruwah dan Tradisi Sadranan, Harga Bunga Mawar Melonjak Tajam
"Kalau jadah, itu wajib biar rezekinya keket, lengket tidak gampang habis. Ketiga makanan itu jadi ciri khas masyarakat sini tiap sadranan pasti buat. Saya pasti buat sendiri, sagon, jadah, tape," ungkapnya pada Jumat (10/3).
Menurutnya, pembuatan jadah dan tape ketan sudah biasa, banyak yang bisa membuatnya. Juga banyak penjual menjajakannya di pasar. Untuk sagon, pembuatannya juga mudah. Bahannya, kelapa parut dari empat buah kelapa, tepung beras ketan 1/2 kilogram dan gula 1/2 kilogram.
Ketiga bahan tersebut dicampurkan sedikit demi sedikit. Agar gula dan tepung tercampur dengan baik dalam parutan kelapa. Bahan sebanyak ini bisa untuk membuat 75 buah sagon. Bahan campuran lalu dimasak dengan cara ditaruh ke cetakan atau sangan.
Baca Juga: Warga Bramen Gelar Sadranan, Pertama Sejak Pandemi
Dipanasi dulu beberapa saat dan diolesi minyak. Tujuannya biar gak lengket. Masaknya pakai api kecil biar matang. Kalau sudah panas, ditaburi gula sedikit dan dipadatkan dengan sendok. Kalau sudah menguning bawahnya berarti sudah matang.
“Sagon yang masih panah lantas diangkat dan diletakan di daun pisang. Baru digulung agar lebih mudah dimakan.”
Pemerhati sejarah, Warin Darsono (34), mengungkapkan, sagon tak hanya sebatas camilan. Namun, mengandung makna keseriusan dan ketulusan.
Artikel Terkait
Diterjang Puting Beliung, Atap Toko Modern Tersingkap dan Peneduh Lapak PKL Terbang
Produksi 63.000 Ton Beras, Stok Pangan Klaten Jelang Ramadhan dan Lebaran Aman
Bobol Rumah Curi 5 HP, Warga Semarang Diringkus. Seorang Masih Buron
Empat Atlet Muda Bulutangkis NPC Indonesia Diproyeksikan Buru Tiket Paralimpiade 2024
Jalan Sambi-Simo Masih Ditutup. Terhalang Pohon Raksasa yang Tumbang
Begini Kesaksian Penumpang Mobil yang Tabrak Klitih di Magelang